Jumat, 15 Juli 2022

Sabtu, 20 Februari 2021

Rabu, 15 Juli 2020

Masa Covid

Proses PBM dengan durring.

Rabu, 10 Juli 2019

Sabtu, 14 Januari 2012

BENGKALIS S2 UIN SUSQA FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM SULURI

BENGKALIS S2 UIN SUSQA FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM SULURI
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemikiran
Pendidikan Islam tidak terlepas sudut pandangan teologi, misalnya saja aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah. Ketiga aliran tersebut dalam asumsi pemakalah telah menyumbangkan ide-ide dalam pembinaan pendidikan Islam.
Kreasi-kreasi keilmuan dalam pendidikan Islam adalah wajah dari aliran Qadariyah, karena memberikan kebebasan manusia untuk berbuat disebabkan oleh adanya potensi akal yang menjadi pemacu dalam membuat ide-ide pemikiran yang positif. Di lain sisi, aliran Jabariyah yang berseberangan dengan Qadariyah, tidak hanya dibiarkan begitu saja. Walaupun aliran tersebut berpendirian bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, semuanya terpasung oleh kekuasaan mutlak Tuhan, namun ajarannya tentang kemakhlukan al-Quran dalam perspektif penididkan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari firman Tuhan.
Kedua aliran tersebut, cara pandangnya memperoleh titik terang melalui pemaduan dengan lahirnya aliran Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, dalam kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.
Aliran Qadariyah mempunyai paham bahwa manusia bebas berbuat dan berkehendak serta berpikir untuk menciptakan perbuatannya sesuai kemampuannya. Dalam konteks pendidikan Islam, sangat relevan karena dunia pendidikan Islam membutuhkan pemikiran dan penalaran untuk menciptakan kreasi-kreasi ilmu pendidikan Islam.
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian , akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[1]
[1] Harun Nasution, Islam Rasional (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 111

Aliran-aliran tersebut terkait juga dengan pendidikan Islam, bagaimana pendidikan Islam produktivitasnya maju atau mundur tergantung kepada pemahaman dan pemikiran yang dimiliki. Tidak dapat diingkari bahwa pendidikan Islam adalah bagian dari ajaran Islam secara keseluruhan, yang titik fokusnya adalah manusia. Karena itu, tujuan akhirnya harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahitnya.[2]
Berangkat dari pemahaman secara etimologi pada hakekatnya pendidikan Islam tak dapat dilepaskan hubungannya dari al-Quran-khaliq, sang maha pencipta. Konsep tarbiyah, ta’lim maupun ta’dib yang dijadikan rujukan pemaknaan dan penyusunan konsep pendidikan Islam semuanya mengacu kepada sumber utamanya, yaitu Allah.[3]
Dengan demikian, konsep pendidikan Islam dalam pengertian seutuhnya hanya mungkin disusun atas dasar hubungan dimaksud. Konsep pendidikan Islam yang hakiki terkait erat dengan nilai-nilai yang termuat dalam wahyu.
Wahyu atau al-Quran adalah kitab yang lengkap dan sempurna, mencakup segala-galanya, timbul dari sifat al-Quran sebagai wahyu; kitab yang mengandung firman Tuhan yang dikirimkanya kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk dan pegangan, baik didunia sekarang maupun di akhirat nanti.[4]
Al-Quran berpotensi memberikan penafsiran yang berbeda-beda dalam memandang sesuatu, katakanlah seperti “manusia” yang di sisi lain mempunyai kekuatan sendiri dalam bertindak, sementara di lain tempat, “manusia” hanya terpaksa dalam melaksanakan sesuatu, sesuatu, karena semuanya sudah diskenario oleh Khaliknya. Hal ini yang mengilhami lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam, misalnya aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah, dan aliran lainnya.


___________________
[2] Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39.
[3] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7.
[4] Harun Nasution, op.cit., h. 25.

Pemakalah menilai bahwa aliran-aliran tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pendalaman dan pengkajian keislaman. Aliran Qadariyah dan Jabariyah merupakan dua aliran yang saling berseberangan dalam memahami “kemampuan manusia”, namun harus diakui bahwa walaupun cara pandang kedua aliran ini berbeda, tapi pada sasarannya hal tersebut tidak mengurangi nilai dari ajaran Islam yang fleksibel. Kedua aliran tersebut ditengahi oleh Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa kekuatan manusia tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan, artinya manusia menjadi berkepribadian yang Islami tidak terlepas dari usaha manusia dan tuntunan Tuhan.
Dikaitkan dengan pendidikan Islam, ternyata aliran-aliran tersebut perlu dikaji dan ditelaah, karena sedikit banyanya memberi sumbangan pemikiran dalam pendidikan Islam. Dicermati pendidikan Islam itu merupakan pencerdasan akal dan budi yang terkait dengan pembinaan manusia. Manusia memiliki kudrah atau potensi yang harus dikembangkan, namun perkembangannya tetap memperhatikan pengaruh-pengaruh luar disamping pengaruh yang sudah dibawa sejak lahir.
Jadi aliran-aliran dalam teologi memandang pendidikan Islam bertautan dengan aliran-aliran tersebut, mengingat pendidikan Islam dan aliran-aliran teologi merupakan ajaran Islam yang harus dikaji dan didalami. Aliran-aliran teologi prinsipnya melahirkan konsep-konsep pendidikan yang sangat bermakna.
Memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, pemakalah dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pandangan aliran Qadariyah, aliran Jabariyah serta aliran Asy’ariyah terhadap pendidikan Islam ?










BAB. II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Aliran Qadariyah Terhadap Pendidikan Islam
Ada suatu pertanyaan yang muncul dalam pemikiran pemakalah yaitu “apakah pendidikan Islam menganut teori kebebasan berpikir ? Menarik buat pemakalah, karena di dunia modern dewasa ini muncullah teori-teori kebebasan. Misalnya kebebasan berpolitik, berteologi, berpakaian, berpendidikan, dan lain-lain.
Dianalisa dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas, sebenarnya kebebasan itu adalah sifat yang dimiliki manusia yang perlu ditumbuh kembangkan. Sebab dengan kebebasan itu manusia menjadi kreatif dan inovatif. Hanya saja kebebasan itu jangan kebablasan atau berlebih-lebihan. Di dunia Barat kebebasan menjadi hal yang biasa-biasa saja, padahal sesungguhnya kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu.
Pemikiran pendidikan Islam adalah suatu kewajaran yang ditopang oleh pandangan aliran teologis, contoh aliran Qadariyah. Aliran ini memberikan kemerdekaan atau kebebasan manusia untuk berbuat. Tapi harus diyakini kebebasan yang dianutnya tetap berbeda dalam koridor wahyu. Karena aliran Qadariyah memiliki alas an-alasan berpijak sesuai ayat-ayat al-Quran.
Sekiranya ulama Islam dan umat Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi akhirat saja, tanpa berorientasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme atau jabariyah, bukan filsafat qadariyah dan dengan pahamnya tentang manusia yang bebas, kemajuan yang begitu pesat dalam bidang politik tidak akan tercapai. Negara yang berasal di Madinah itu hanya akan merupakan Negara padang pasir tak ada artinya dan tidak menjadi Negara adikuasa yang besar pengaruhnya pada dunia zaman ini.
Kebangkitan pendidikan Islam tidak terlepas dari munculnya mutakallimin dengan wajah “keilmuan kalamnya”. Menurut Harun Nasution ilmu kalam lebih tepat dinamakan ilmu keislaman.[5]

_________________
[5] Harun Nasution, Theology Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan ( Cet. 5; Jakarta: UI Press, 2002), h. 33.

Menurutnya pula manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sehingga dengan demikian manusia terpaksa tunduk pada Qadar dan kadar Tuhan, atau yang biasa disebut dengan free will dan free act.[6] Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini diperkuat oleh aliran mu’tazilah.
Yang muncul kemudian, yang sangat mendukung argumen-argumen Qadariyah, yang mana manusia dalam menentukan kehidupnya segala dapat diperoleh melalui kebenaran akal, sehingga aliran ini biasa dengan disebut aliran rasionalisme yakni aliran yang mengkultuskan kemampuan akal dalam menetapkan kebenaran.
Sifat rasional dari pada manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan, keragu-raguan. Dengan senjata yang bersifat rasional manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan sengaja.[7]
Pengaruh aliran Qadariyah terhadap pendidikan Islam, bila dilihat dari pemikiran tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan Qadariyah, misalnya Ibnu Sina, al-Muwardi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya, menunjukkan bahwa pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai factor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada era globalisasi sekarang ini. Pendidikan Islam sangat diharapkan menjadi bidang strategis pendamping IPTEK dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusian di bumi ini.
Paham qadariyah yang mewarnai pendidikan menurut Ibnu Sina misalnya dalam hal perumusan tujuan pendidikan yang mengarah pada pengembangan potensi dalam upaya pencapaian kesempurnaannya,[8] kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.[9] Penggunaan metode secara multi metode, dengan atas pertimbangan pesiologis peserta didik.[10]

_______________
_[7] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976), h. 76. [8] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67. [9] Ibid., h.70-71 [10] Ibid.
Pendidikan yang ditawarkan Ibnu Sina, antara lain berkisar tentang guru yang baik yakni berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari olok-olok dan bermain-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci murni.[11]
Menurut pemakalah aliran empirisme adalah suatu aliran pendidikan yang menonjolkan faktor lingkungan yang paling dominan dampaknya terhadap proses perkembangan manusia yang diilhami oleh pandangan Qadariyah. Sebab secara kronologisnya jauh sebelum aliran empirisme muncul ternyata aliran Qadariyah telah ada.
Salah satu kesalahan pendidikan yang telah dipraktekkan para pendidik terdahulu yaitu peserta didik diibaratkan belanga kosong yang senantiasa siap diisi sesuka hati pendidik, sehingga terjadi kefakuman dalam pembelajaran, yang akhirnya akan melahirkan robot-robot yang siap menunggu instruksi dari majikan yang tidak kreatif dam mandiri. Padahal yang berhaluan Qadariyah sangat tidak sepaham dengan suasana demikian.
Uraian-uraian di atas melahirkan pemahaman bahwa aliran Qadaryiah telah memberikan peluang yang sangat bermakna terhadap kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, karena adanya kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk berbuat.
B. Pandangan Jabariyah Tentang Pendidikan Islam
Ketika Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam menentukan kebenaran, maka Jabaiyah berasumsi sebaliknya. Menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan segala perbuatannya telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[12]
Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi, bahkan percuma. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideologi pendidikan yang disebut konservatisme oleh O’neil dan Giroux. Aliran ini memandang bahwa konsep yang selama ini digunakan masih tetap actual dan relevan, sehingga tidak perlu perubahan. Secara teologis aliran ini sangat sejalan dengan theology jabariah atau determinisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan social. Semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Bagi penganut paham ini dalam memperjuangkan nasib rakyat enggan melakukan konfik, dalam bahasa agama selalu bersifat qanaah.
__________________
[11] Ibid. h. 77 [12] Harun Nasution , loc.cit.
Menurut pandangan Jabariyah konsep pendidikan Islam yang ada pada zaman dahulu yang telah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu sudah cukup, karena pada dasarnya pendidikan itu tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia, sebab baik buruknya nasib seseorang telah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak perlu ada ikhtiar, karena apapun akhirnya tergantung pada Tuhan. Akhirnya semua factor-faktor pendidikan yang tersebut di atas, tidak perlu adanya reformasi dan reorientasi.
Pandangan Jabariyah membingkai aliran nativisme yang menganggap factor pembawaan atau bakat serta kemampuan dasar sebagai penentu dari proses perkembangan manusia. Sehingga proses perkembangan hidup manusia ditentukan oleh factor dasar ini. Akibatnya ialah bahwa factor-faktor eksternal seperti pendidikan atau lingkungan sekitar serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan kehidupan manusia.[13]
Paham ini sudah tentu kurang dapat dipertanggungjawabkan bilamana dilihat dari realitas hidup manusia sebagi anggota masyarakat. Karena manusia sebagai makhluk social tidak dapat menghindari diri dari pengaruh yang bersifat timbale balik antara individu satu dari yang lainnya.
Pendapat demikian di dunia kependidikan modern sekarang telah banyak ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan hidup bahwa dimanapun manusia berada, di situ pula memerlukan proses pendidikan, baik formal maupun non formal. Proses kependidikan pada hakikatnya adalah usaha ikhtiar untuk mempengaruhi, mengubah, dan membentuk keperibadian dan tingkah laku, sehingga sesuai dengan tujuan hidup manusia yang dicita-citakan.
Dalam pandangan Islam jelas bahwa manusia tidak saja dipandang sebagai makhluk ideal dan structural, tetapi juga diletakkan pada posisi potensial dalam proses perkembangannya, di mana nilai etis dan normative sangat menentukan keberhasilan proses tersebut. Manusia bukanlah makhluk instrumental yang relativitas seperti robot.
Pandangan Jabariyah dengan kemutlakan Tuhan dalam segala-galanya mencerminkan menusia tidak punya daya apa, semuanya ditangan Tuhan. Tuhan telah memasung manusia atas kemutlakannya. Akan tetapi dalam dunia pendidikan Islam kemakhlukan al-Quran menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.


_________________
[13]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 59

C. Pandangan Asy’ariyah Tentang Pendidikan Islam
Banyak pendapat yang muncul sekitar keluarnya al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Namun yang jelas bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran itu tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berfikirnya.[14]
Kemungkinan lain karena al-Asy’ari ingin menjadi perantara antara golongan tekstualis (seperti ahli hadis anthromorphist yang hanya memegangi nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan golongan rasionalis seperti aliran Mu’tazilah, dan tenyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[15] Inilah beberapa faktor berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah yang kemudian membentuk satu paham teologi yang dikenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah.
W. Montgomery Watt, mengatakan bahwa segi positif dari berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah diterimanya dogma kaum sunni dalam lingkup mazhap hambali. Al-Asy’ari kemudian membaktikan sisa hidupnya pada pembelaan intelektual terhadap posisi sunni. Masa ini dikenal sebagai konsolidasi paham sunni dalam arti bahwa ada sekelompok besar orang-orang yang telah menolak doktrin-doktrin semacam Mu’tazilah dan menerima dogma-dogma paham sunni.
Paham Asy’ariyah muncul pada saat perdebatan sengit antara Qadariyah dan Jabariyah yang mempertentangkan berbagai aspek kehidupan manusia terutama dalam persoalan keyakinan. Keduanya mengambil jalan masing-masing untuk menetapkan kebenaran berdasarkan sumber keyakinan mereka. Sehingga paham ini tampil untuk mengambil jalan tengah di antara keduanya, akhirnya terbentuk sebuah sebuah paham tersendiri.
Al-Asy’ari adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang berupaya mempertemukan paham Jabariyah dan Qadariyah. Oleh karena itu aliran ini semakin popular dan bahkan mudah diterima sebagai rumusan pokok ajaran agama ( ushul al-din) yang sah atau ortodoks di seluruh dunia Islam sampai saat ini hampir tanpa terkecuali.[16]

___________________
[14] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h. 13
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 99.
[16] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.

Dalam perkembangan kemudian paham Asy’ariyah dianut oleh kebanyakan masyarakat, setelah kondisi kekuatan paham Qadariyah yang dianut oleh aliran Mu’tazilah melemah, khalifah Al-Mutawakkil pada masa Dinasti Abbasiyah, menghapuskannya sebagai aliran teologi resmi yang dianut oleh Negara sebagaimana khalifah sebelumnya. Maka jadilah paham Asy-ariyah berkembang di masyarakat umum. Bahkan akhirnya paham Asy’ariyah mampu menghegemoni kehidupan dunia Islam hingga dewasa ini. Tidak sedikit pengaruh ini larut dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam persoalan pendidikan, khususnya dalam kontes kekinian.
Kondisi pendidikan sekarang ini khususnya pendidikan Islam, sangat dipengaruhi oleh paham ini. Ketika paham ini memandang bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki potensi atau yang disebut fitrah, dalam bahasa teologi adalah daya atau kemampuan yang Tuhan berikan untuk bekal hidup di dunia, sehingga manusia dapat melakukan aktifitas kehidupan. Meskipun pada awalnya daya tersebut diciptakan Tuhan namun ada intervensi manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga hal inilah yang warnai kondisi pendidikan Islam.
Pemakalah berasumsi bahwa aliran Asy’ariyah melahirkan hokum konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern yaitu suatu pandangan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat atau kemampuan dasar dan faktor-faktor lingkungan yang disengaja. Dengan kata lain, manusia ditentukan perkembangannya oleh faktor dasar dan faktor ajar, yang satu sama lain saling mempengaruhi secara interaktif. Namun dalam Islam penamaan tersebut terkenal dengan fitrah, dalam artian manusia lahir dengan membawa potensi kebaikan semata, lingkunganlah yang membentuknya.
Menurut pemakalah di sinilah lembaga pendidikan dengan segala kelengkapannya harus benar-benar berfungsi dengan efektif dan efisien, maka jelaslah kedua aliran tersebut yaitu emperisme dan nativisme harus bergandengan tangan membuat konvigurasi yang rilex dan saling mendukung dalam pembentukan kepribadian manusia.
Bertolak dari paham tersebut, maka pendidikan Islam memandang manusia sebagai obyek dan subyek pada pendidikan, yang dapat mendidik dan didik (homo educandum). Manusia mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang melalui potensi pendidikan. Manusia di samping memiliki daya yang diciptakan Tuhan untuknya, namun manusia memiliki pula kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, melalui proses pendidikan. Sehingga ada ungkapan mengatakan. “ Hidup di tangan Tuhan, tetapi kehidupan di tangan manusia”
Manusia sebagai mahluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumberdaya insaniya itu, manusia diikatkan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai mahluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yakni nilai ilahiyat.
Disatu sisi, ia memiliki kebebasan untuk memilih arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).[17]
Pandangan As’ariyah yang telah dijabarkan di atas telah memberikan pemikiran-pemikiran terhadap pendidikan Islam. Ternyata otoritas wahyu menjadikan dasar pembinaan watak seseorang, artinya kebebasan yang dimiliki oleh manusia tetap berdasar kepada wahyu. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.















________________
[17] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 33

D. Pandangan Al-Qaradlāwi Tentang Rasionalisme Pendidikan Islam
Sebagai seorang tokoh Muslim abad modern yang juga dianggap sebagai seorang pembaharu (reformer) Al-Qaradlāwi telah “berada pada jalur yang benar (on target)” -meminjam istilah Dr. `Abdul Hamid Abu Sulayman- dalam mega proyek şahwah islāmiyyah dan pembangunan umat yang selama ini diperjuangkannya. Selain aktif sebagai seorang pegiat pendidikan di lapangan praktis sebagai mana disinggung di muka, Al-Qaradlāwi juga menulis beberapa buku berkenaan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menulis lebih dari seratus judul buku, Al-Qaradlāwi tidak abai terhadap tema terkait konsep ilmu dan pendidikan. Beberapa bukunya, sekedar untuk menyebut contoh, menyentuh langsung tema-tema konsep ilmu dan pendidikan seperti Al-`Aql wa al-`Ilm fī al-Qur’ān,[20] Al-Rasūl wa al-`Ilm,[21] Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm,[22] Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi[23] dan Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna.[24] Selain itu pikiran dan gagasannya mengenai konsep ilmu dan pendidikan tersebar dalam buku-bukunya yang lain, serta di berbagai wawancara, makalah, maupun ceramah-ceramahhnya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Terkait perdebatan mengenai rasionalisme dalam pendidikan Islam, al-Qaradlāwi secara tegas menolak jika agama [Islam] disebut menghalangani rasionalisme atau kemajuan ilmu pengetahuan.[25] Menurut beliau, ilmu dan akal justru mendapat tempat yang cukup tinggi dalam Islam. Bahkan beliau meyakini bahwa tidak ada agama lain yang lebih memulyakan ilmu dan orang-orang berilmu lebih dari pada Islam. Akal dalam Islam juga menjadi prasyarat utama adanya taklīf. Tanpa adanya akal, taklīf dengan sendirinya juga tidak akan pernah ada. Dalam ungkapan lain, pengebirian akal akan mejatuhkan derajat manusia menjadi hewan.[26]
_________________
[20] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-`Aql wa al-`Ilm fī al-Qur’ān,Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 1, 1996 [21] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, Kairo: Dar al-Şahwah, t.th [22] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 1, 1995 [23] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi, Ammān: Dār al-Furqān, 1996 [24] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 3, 1992 [25] Buku beliau Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi merupakan jawaban yang lengkap terhadap persoalan ini. [26] Baca: Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm, hal. 71-73

Penghormatan terhadap akal dan rasionalitas tersebut juga diturunkan dalam konsep pendidikan. Mengenai hal ini, dalam kerangka untuk mencari sebuah model yang aplikatif atas konsep tersebut al-Qaradlāwi menyebut konsep pendidikan seperti yang dipraktekkan oleh al-Ikhwān al-Muslimūn adalah model ideal pendidikan Islam yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam.[27] Tentu, yang dimaksud al-Qaradlāwi tentang Pendidikan Islam di sini adalah dalam maknanya yang luas dan tidak terbatas dalam bentuk pendidikan formal. Menurutnya, dalam konsep pendidikan al-Ikhwān aspek rasionalitas (al-jānib al-`aqli) mendapat porsi perhatian cukup besar. Pendidikan akal (al-tarbiyah al-aqliyah) adalah wajib hukumnya sebagaimana wajibnya pendidikan keimanan dan ruhani. Dalam kaitan ini, pendiri al-Ikhwān, Hasan al-Banna menjadikan al-fahm (kepahaman) sebagai rukun baiat yang pertama sebelum al-ikhlāş, jihad, amal dan lainnya.[28]
Bentuk lain dari penghargaan terhadap akal dan rasionalitas dalam proses pendidikan Islam adalah didorongnya para murid untuk tidak perlu merasa segan bertanya kepada guru mereka jika mendapati hal-hal yang belum jelas atau masih mengganggu pikiran mereka.[29] Dengan cara atau pendekatan seperti ini, apa yang biasa dituduhkanan sebagai indoktrinasi dalam praktik pendidikan menjadi tidak relevan. Karena dalam sebuah indoktrinasi, seorang murid harus menerima apa adanya segala hal yang disampaikan oleh gurunya secara taken for granted. Namun, meski memberi kewenangan kepada murid untuk menyempaikan pendapatnya dihadapan guru, al-Qaradlāwi juga mengingatkan keharusan penghormatan terhadap seorang guru. Dalam pandangannya, kewajiban penghormatan kepada seorang guru bisa disejajarkan dengan penghormatan terhadap orang tua kandung si murid atau bahkan lebih.[30]


________________
[27] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, hal.4 [28] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, hal. 24-25 [29] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 106 [30] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 103-104[31] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 38-40
Al-Qaradlāwi mengkritik keras “nalar mitos” (aqliyah khurāfiyah) yang tanda-tandanya adalah menerima begitu saja setiap apa yang didengar, terutama jika datang dari orang-orang terhormat baik seorang guru, tokoh agama atau dari berbagai tradisi lama. Lawannya yang harus dikembangkan adalah sikap “nalar rasional objektif” (aqliyah ilmiyah mawdlū`iyyah) yang menurutnya memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:[31]
1. Tidak serta merta menerima sebuah pendapat atau klaim jika tidak didasari oleh dalil yang kuat. Yang dimaksud dengan dalil adalah al-burhān al-nadzari (teori yang sudah pasti) dalam persoalan `aqliyyat (QS. al-Naml: 64), mushāhadah atau eksperimen dalam persoalan yang inderawi (hissiyat) (QS.al-Zukhruf:19) dan validitas transmisi dalam hal-hal yang termasuk wilayah naqliyat (QS. al-Ahqāf: 4).
2. Menghindari segala bentuk prasangka (al-dzann) dalam setiap persoalan yang mengharuskan adanya kayakinan yang pasti. Dalam kerangka inilah Al-Qur’an menolak ‘keyakinan’ kaum Nashrani tentang disalibnya Isa yang sejatinya tidak lain hanya berdasarkan dugaan semata (QS. al-Nisā: 157).
3. Tidak mengedepankan emosi, sentimen, perasaan, hawa nafsu atau kesan-kesan yang bersifat pribadi melainkan mengutamakan netralitas dan obyektifitas (QS. al-Najm: 23 & Shāād: 26)
4. Menolak cara berfikir yang statis, imitatif dan tidak kritis terhadap pendapat orang lain (QS. al-Baqarah: 170), sebagaimana pula peringatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, “Janganlah kalian menjadi orang yang sekedar ikut arus (imma`ah), yang berkata: aku senantiasa bersama orang-orang; jika mereka berlaku baik maka aku akan berlaku baik bersama mereka dan jika mereka berlaku buruk maka aku juga akan berlaku yang sama dengan mereka..”
5. Senantiasa membiasakan diri untuk melakukan olah fikir dan berkontemplasi baik mengenai ciptaan/semesta (QS. al-A`rāf:185), maupun diri sendiri (QS. al-Dzāriyāt: 31) dan sejarah (QS. Āal `Imrān: 137).




_______________
[31] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 38-40

BAB. III
PENUTUP
Merujuk dari uraian-uraian di atas, pemakalah dapat menjabarkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aliran Qadariyah berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan. Dengan begitu, aliran ini memberikan kreasi-kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, melahirkan ideology pendidikan yang liberal, empiris, optimis. Pendidikan Islam secara secara positif diharapkan mengadopsi pemikiran yang demikian, sehingga dapat survive, eksis dan tetap up to date. Pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai faktor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada ere globalisasi sekarang ini.
2. Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi dan perubahan. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideology pendidikan yang disebut konservatisme. Aliran fatalis ini melahirkan aliran nativisme, artinya manusia hanya terpaksa berbuat dan dia mengikuti
kehendak Tuhan. Faktor bawaan sangat dominant dalam pembentukan manusia yang sempurna. Walaupun demikian, aliran Jabariyah dengan ajaran kemakhlukan al-Quran dalam perspektif pendidikan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.
3. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya. Aliran Asy’ariyah memandang pendidikan Islam, masih perlu adanya perbaikan-perbaikan pada faktor yang terlibat di dalamnya. Karena apa yang ada selama ini sebenarnya sedikit memenuhi persyaratan pendidikan umum, namun pada tataran konsep pendidikan Islam ini sangat ideal. Akan tetapi pada tataran aplikasi masih jauh dari harapan stakeholders sebagai pemakai lulusan. Aliran Asy’ariyah mengilhami aliran konvergensi dalam pembentukan kepribadian seseorang.
4. Agama Islam adalah agama ilmu, agama rasional dan “agama akal”. Maksudnya, ilmu, rasionalitas dan akal sangat dihormati dalam Islam. Dalam proses pembelajaran tentang Islam dengan berbagai konsep dan ajarannya, rasionalisme dan akal manusia mendapat perhatian besar. Maka dari itu, sebagai turunannya, konsep pendidikan dalam Islam-pun juga bersifat rasional, meskipun dengan catatan tinta tebal bahwa rasionalisme yang disokong bukanlah rasionalisme yang kebablasan sebagaimana dalam worldview Barat.
Sayangnya, rasionalisme yang sedemikian dijunjung tinggi dalam Islam dan pendidikan Islam kemudian menjadi sebuah ironi. Dunia pendidikan Islam pada abad-abad belakangan mengalami krisis, dimana indoktrinasi yang telah mendominasi kegiatan belajar mengajar dan taqlid yang telah mengakar berhasil menggeser pendekatan rasional, kritis dan analitis dalam proses kegiatan ilmiyah.
Kenyataan yang menyedihkan ini menjadi objek kritik dari sejumlah pakar dan pembaharu, salah satunya Yūsuf al-Qaradlāwi yang juga dikenal salah satu tokoh paling otoritatif di dunia muslim abad ini. Berangkat dari sumber-sumber al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang dikuasainya, serta sejumlah ‘pengalaman’ yang diwariskan oleh orang-orang yang sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya seperti Hasan al-Banna dan lain-lain, al-Qaradlāwi cukup berhasil mendudukan ‘rasionalisme Islam’ yang seharusnya ditegakkan kembali dalam bidang pendidikan Islam. Rasionalisme ini, menurutnya memiliki lima prinsip penting yaitu: 1). Perlunya pembuktian ilmiyah terhadap sebuah klaim ilmu/kebenaran; 2). Tidak tergesa-gesa dengan praduga; 3). Tidak mengedepankan emosi dan subjektifitas; 4). Menghindari taklid buta dan mental mengekor; serta 5). Membiasakan aktifitas berfikir dan olah akal.




DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Zahra, Imam Muhamad. Aliran politik dan Aqidah dalam Islam. Cet.1; Jakarta: Logos Publising House, 1996.
2. Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam paradikma Humanisme Teosentrime. Cet.1; Pustaka Pelajar; Yogyakarta. 2005.
3. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
4. Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976.
5. Dewey,John. Democracy and Education. New York: The Free Press,1966.
6. Djumransjah, M. Filsafat Pendidikan (Telaah Tujuan dan Kurikulum Pendidikan). Cet.1; Malang,Kutub Minar, 2005.
7. Hanafi,Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,1989.
8. Jalal, Abdul Fatah. Min Ushul al-tarbiyah fi al-Islamiyah. Mesir: Jumhur al-Arabiyah, 1977.
9. Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995.
10. Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
11. Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
12. Mursi, Muhammad Munir. Al-Tarabiyah al-Islamiyah Ushuluha Wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1987.
13. Nasution, Harun.Islam Rasional. Cet. 1;Bandung : Mizan, 1995.
14. ¬_______, Theology Islam. Jakarta : Bulan Bintang,1974.
15. _______, Teologi Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan. Cet 5; UI Press: Jakarta, 2002.
16. Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Cet. 1; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
17. _______, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
18. Perk. Joe. Selected Readings In The philosophy of Education. Macmillan Publishing Co Inc, New York,1974.
19. al-Qardhawi, Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
20. Roubiczek, Paul. Existentialism for and Against. Cambridge University Press, 1966.
21. Tapsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cetakan 13; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
22. Tirtaraharja, Umar. Dkk, Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000.




















________________________________________
[1] Harun Nasution, Islam Rasional (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 111
[2] Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39.
[3] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7.
[4] Harun Nasution, op.cit., h. 25.
[5] Harun Nasution, Theology Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan ( Cet. 5; Jakarta: UI Press, 2002), h. 33.
[7] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976), h. 76.
[8] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67.
[9] Ibid., h.70-71
[10] Ibid.
[11] Ibid. h. 77
[12] Harun Nasution , loc.cit.
[13]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 59
[14] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h. 13
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 99.
[16] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.
[17] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 33.
Rate this: